Meluruskan Makna Metodologi Dakwah (Ilmu Dakwah Islam)

Meluruskan Makna Metodologi Dakwah (Ilmu Dakwah Islam)
Meluruskan Makna Metodologi Dakwah (Ilmu Dakwah Islam) - POKOK pikiran Nab Bahany As (NB) yang dituangkan dalam harian ini pada 3 Oktober 2012 yang menggugat Metodologi Dakwah, kiranya ada beberapa hal yang perlu diluruskan agar persoalan ini tidak melebar dan menimbulkan kebingungan dari masyarakat, terutama mahasiswa yang belajar di Fakultas Dakwah dewasa ini yang jumlahnya 1.500 orang lebih.

Mengawali tulisan ini saya mengapresiasi tulisan saudara NB yang menyebutkan bahwa alumni Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry telah banyak berkiprah terutama sebagai wartawan professional, sebagai dai yang mendakwahkan persoalan sosial umat melalui tulisan-tulisan pemberitaannya, dan ini tentu saja benar adanya. Akan tetapi mungkin NB lupa bahwa alumni Fakultas Dakwah tidak hanya berkiprah di wartawan profesional saja, tetapi hampir semua lini profesi yang ada diisi oleh alumni Fakultas Dakwah baik di birokrasi, politisi, militer, polisi dan lain-lain.

 Metodologi ilmu dakwah
NB menyebutkan bahwa sejauh ini belum ada satu metoda dakwah, bagaimana menghadirkan syariat Islam di Aceh sebagai suatu penyadaran umat. Yang terjadi justeru sebaliknya, dalam banyak kasus Polisi Syariat sering bertindak di luar misi dakwah yang tidak menyenangkan, sehingga kehadiran syariat Islam di tengah masyarakat menjadi kontroversi akibat belum terkontribusinya ilmu dakwah secara metodologi dalam membekali para petugas pengawal syariat Islam di Aceh.

Pernyataan NB di atas kiranya perlu diluruskan, di mana kelihatannya NB tidak bisa memisahkan mana wilayah kajian metodologi ilmu dakwah dan mana wilayah metode dakwah. Bicara metodologi ilmu dakwah merupakan kajian akademis yang berputar di tiga ranah yaitu ontology, epistemology, dan aksiologi. Dalam ranah ini memang saya akui sampai sekarang masih dalam perdebatan di tataran para ilmuan terutama dalam menetapkan epistemology dakwah, sedangkan pada tataran ontology dan aksiologi sudah diakui oleh para ilmuan.

Perlu dipahami pula bahwa belum adanya kesepakatan para ilmuan tentang epistemology tersebut, bukan berarti tidak ada epistemology ilmu dakwah itu sendiri. Hal ini bisa dianalogikan dengan seorang anak yang lahir tapi ayah dan ibunya belum sepakat nama yang diberikan, lalu kemudian bolehkah kita menyebut anak tersebut belum ada?

Terlepas dari itu, jika NB mengikuti secara seksama perkembangan ilmu dakwah hari ini sebenarnya lajunya begitu pesat, terutama  dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini. Hal ini paling tidak terlihat dari begitu banyaknya buku-buku yang membahas tentang ilmu dakwah, seminar, simposium dan berdirinya Fakultas Dakwah pada seluruh IAIN/UIN di Indonesia. Karenanya jika NB merasa bahwa keilmuan dakwah itu stagnan, tentu saja itu keliru dan bertentangan dengan bukti empiris hari ini.

 Metode dakwah
Terkait dengan metode Dakwah, hal ini adalah wilayah praktis. Metode adalah cara yang ditempuh dalam berdakwah, dan ini beragam. Dalam Alquran disebutkan metode dakwah dengan bil-hikmah, contoh teladan yang baik, dan berbantahan dengan baik pula. Dari segi media bisa melalui mimbar, tulisan, seni, maupun media elektronik visual/audiovisual dan lain-lain.

Saya melihat tulisan NB ini, ditujukan pada bagaimana penggunaan metode dakwah bukan metodologi ilmu dakwah, dan saya menyangsikan kapasitas NB sebagai Sarjana Fakultas Adab lalu menguasai Metodologi Ilmu Dakwah.

Berbicara metode dakwah, dianggap dapurnya adalah Fakultas Dakwah lalu dituduh telah gagal memproduksi/membekali umat ke jalan yang benar, terutama Polisi Syariat (WH) untuk berlaku dan bertindak yang menyenangkan, tentu saja ini perlu dilihat beberapa aspek:

Pertama, tugas Fakultas Dakwah sebagai institusi pendidikan yang melahirkan sarjana dakwah, telah dilakukan dengan baik yaitu menyesuaikan kurikulum dengan berbagai persoalan umat dalam konteks kekinian. Jika pun dianggap alumni Fakultas Dakwah kurang bisa mewarnai umat, hal ini tentu saja terkait dengan persoalan sosial dan sistem masyarakat kita yang bisa jadi telah terkontaminasi dengan hal-hal yang akut;

Kedua, kiranya tidak tepat bila Fakultas Dakwah dianggap gagal dalam men-design model Dakwah dalam penerapan syariat Islam hari ini. Tentu saja asumsi ini perlu dibuktikan oleh data dan fakta yang valid, bila tidak ini namanya fitnah. Dan, perlu juga saya ingatkan bahwa kewajiban berdakwah itu bukan saja kewajiban Fakultas Dakwah, akan tetapi ada pada setiap yang mengaku muslim termasuk NB sendiri;

Ketiga, terkait personel WH yang dianggap NB gagal itu ternyata direkrut dari berbagai latar belakang pendidikan. Ada daerah yang merekrut dari sarjana, dan ada pula yang merekrutnya dari SMA. Yang dari sarjana pun, bukan semuanya dari lulusan IAIN tetapi juga berasal dari perguruan tinggi umum.

Di samping itu, saya sebagai orang yang pernah menjadi Ketua WH Provinsi Aceh, menyadari betul bahwa semua gerakan dan tindakan WH sangat dipengaruhi oleh sistem yang ada, dan dukungan dari semua lapisan masyarakat;

Keempat, maraknya berbagai aliran “sesat” atau dalam bahasa sosiologi disebut New Religious Movment, sebenarnya fenomena sosial yang bukan muncul sekarang ini saja, akan tetapi ini juga terjadi pada agama-agama lain.

 Tak saling menyalahkan
Perlu NB ketahui dalam psikologi agama dijelaskan, orang yang keluar dari agama mainstream disebabkan oleh banyak hal, di antaranya: Pertama, agama mainstream lebih menekankan doktrinitas kurang mempertimbangkan aspek rasionalitas; Kedua, pemuka agama yang dijumpai tidak lagi dianggap sebagai figur yang dapat dipercayai karena telah terkontaminasi dengan kepentingan pragmatis, dan; Ketiga, ajaran-ajaran agama dirasa tidak mampu menjawab berbagai persoalan sosial, politik dan ekonomi yang berkembang sehingga umat menjadi apatis dan mencari ajaran baru yang dianggapnya lebih realistis.

Karenanya, jika NB melihat WH dan umat Islam di Aceh gagal mengantisipasi masuknya aliran “sesat” maka kegagalan itu sebenarnya kegagalan seluruh umat yang ada di Aceh bukan kegagalan Fakultas Dakwah semata.

Seyogyanya, bila kita mencintai syariat Islam tegak di Aceh, maka sudah saatnya kita tidak saling menyalahkan; Mari kita saling isi mengisi! Sebab tidak ada satu bangsa pun menjadi maju karena keasyikan masyarakatnya yang saling menyalahkan.

Meluruskan Makna Metodologi Dakwah (Ilmu Dakwah Islam)

0 Response to "Meluruskan Makna Metodologi Dakwah (Ilmu Dakwah Islam)"

Post a Comment